Rabu, 05 Januari 2011

Pengantar
Kerajaan Inggris me

mbantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan

kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession

of a British Spy’.

Pada tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai. Dan keamiran pun berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia. Untuk kesekian kalinya kita dibuat kagum sekaligus benci.. Dua sikap psikologis itu beradu. Kita kagum karena lagi-lagi mayoritas muslim dapat menjaga persatuan dalam menghadapi imperialis Inggris yang berusaha menguasai berbagai wilayah-wilayah Arab. Kita juga benci karena lagi-lagi Salafisme (Wahabisme edisi hard cover) memperagakan ‘teologi horor’ dengan mengusung jargon jihad, membajak kata ‘Ahlussunnah wal Jamaah’. Mazhab ‘kaca mata kuda’ –karena tidak melihat dan menganggap kelompok lain- ini didirikan Muhammad bin Abdul Wahab dari keluarga klan Tamim yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] masehi, dan meninggal di Dar’iyyah pada tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 14 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashrah [Irak], Damaskus {Syria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Bashrah selama 4 tahun. Ketika pulang ke kampung halamannya ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, “Kitabut’Tauhid“. Para pengikutnya menamakan diri mereka dengan sebutan kaum Al-Muwahhidun (para pengesa Tuhan). Seakan hanya kelompok itulah yang pengesa Allah secara murni tanpa terpolusi dengan kesyirikan. Sedang kelompok-kelompok lain yang tak sepaham mereka anggap sebagai kelompok pelaku syirik, bid’ah dan khurafat yang sesat.

Kemudian Muhammad bin Abdul Wahab pindah ke Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di Uyaynah, ia terang-terangan mengkafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi. Di kota itu ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah (di luar Ahlusunah), lalu kaum Sufi, kemudian ia mulai melanjutkan penyerangan terhadap kaum Ahlusunah secara keseluruhan dengan cara yang brutal. Dengan mengecap mereka dengan berbagai julukan buruk seperti Quburiyuun (pemuja kubur) dikarenakan mereka semua sepakat bahwa kuburan para nabi, rasul dan para kekasih Ilahi (Waliyullah) harus dihormati sesuai ajaran pendahulu (Salaf) yang sesuai dengan ajaran Rasul, para Sahabat setia beliau, juga para Tabi’in dan Tabi’ Tabi’in.

Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, Muhammad bin Abdul Wahab diusir oleh penguasa [amir] setempat pada tahun 1774. Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ud, masih di Najd Tahun 1744. Di situlah Muhammad bin Abdul Wahab mendapat angin segar dalam menyebarkan ajarannya. Ia dihidupi, diayomi dan dilindungi langsung oleh sang Amir Dar’iyah, Muhammad bin Saud. Akhirnya Amir Muhammad bin Saud dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab saling membaiat dan saling memberi dukungan untuk mendirikan negara teokratik dan mazhab Muhammad bin Abdul Wahab pun dinyatakan sebagai mazhab resmi wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Dan Muhammad bin ‘Abdul Wahab akhirnya diangkat menjadi qadhi (hakim agama) wilayah kekuasaan Ibnu Saud. Hubungan keduanya semakin dekat setelah Ibnu Saud berhasil mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahab.

Penaklukan dan pembantaian pun dilakukan, terutama terhadap kabilah-kabilah dan kelompok Ahlusunah yang menolak mazhab mereka (Wahaby), hingga terbentuklah sebuah emirat lalu diubah menjadi monarki dengan nama keluarga, Saudi Arabia, sejak tahun 1932 hingga kini.

Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syi’ah di kota Karbala’ (salah satu kota suci kaum Syiah di Irak). Seorang penulis Wahabi menuliskan: “Pengikut Ibnu Saud mengepung dan kemudian menyerbu kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan di rumah-rumah. Harta rampasan [ghanimah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di kota Karbala”.

Muhammad Finati, seorang muallaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah daulah Usmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahabi menulis : “Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka”.

Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir, ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka (Wahaby) tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujahid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanimah (rampasan perang). Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.

Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala memasuki kota Tha’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari.. Para qadhi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lain dibunuh.

Kerajaan Inggris membantu Wahabisme dengan uang, senjata dan keterampilan, sehingga kekuasaan Ibnu Saud menyebar ke seluruh jazirah Arab yang pada masa itu berada dalam kekhalifahan Usmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Jadi yang menggembosi kekuasaan daulah dan kekhalifahan Usmani adalah kelompok yang terkenal dengan sebutan Wahaby yang sekarang ini mengaku sebagai kelompok Salafy. Orang bisa membacanya dalam buku Hempher, ‘Confession of a British Spy’. Hampher seorang orientalis yang menjalin persahabatan dengan Ibnu Abdul Wahab. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia.

Umumnya kaum intelektual dan ulama Ahlusunah – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai orang-orang yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafoar [Majaz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selainnya (Wahaby) sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: “Kullu bid’ah dhalaalah wa kullu dhalaalah fî n-naar”. (semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka). Kata “bid’ah” yang mereka tuduhkan hanyalah kata pelembut, untuk ‘kafir’, dan menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunut, talqin, tahlil, istighatsah, berzikir berjamaah, membaca maulid diba’ ataupun burdah yang berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah sebagai bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Dari sinilah akhirnya kaum Wahaby yang mengaku sebagai pengikut Salafy ini layak diberi gelar “Kelompok Takfir” (jama’ah takfiriyah), kelompok yang suka mengkafirkan golongan lain yang tidak sepakat dengan ajarannya.

Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minin Khadijah tempat tinggal Nabi dan banyak tempat-tempat bersejarah lain yang masuk wilayah kerajaan Arab Saudi kini telah dihancurkan. Kalau tidak mendapat protes dari segenap kaum Muslimin sedunia niscaya kuburan Nabi pun sudah diratakan dengan tanah, sebagaimana yang terjadi di makam para sahabat dan syuhada’ Uhud di Baqi’ (Madinah) dan para keluarga Rasul di Ma’la (Makkah).

Di Indonesia, misalnya, kaum Nahdhiyyin (NU) ‘kebingungan’, karena kaum Wahabi ‘membajak’ atribut Ahlussunnah Wal Jamaah, padahal istilah ini yang biasa dipakai oleh penganut keempat mazhab Sunnah; mazhab Syafi’i, Hanbali, Hanafi dan Maliki. Akhir-akhir ini mereka ikut-ikutan memakai jubah dan serban seperti yang dikenakan kaum Nahdhiyin. Walau demikian, sangat mudah untuk melihat tanda-tanda zahir dari kelompok tersebut.. Mereka suka mesyirikkan dan membid’ahkan kelompok muslim lainnya. Dari sisi penampilan pun mereka mempunyai ciri khas sendiri. Selain suka mencukur rambut kepala, mereka juga berlomba dalam masalah panjang-panjangan jenggot dan tinggi-tinggian celana bahkan bisa sampai ke pertengahan betis.

Belakangan ini kita sering mendengar berita tentang eskalasi kekerasan di Saudi Arabia, termasuk penghancuran pipa minyak yang dilakukan oleh kaum fundamentalis Wahhabi, yang disebut-sebut sebagai tempat kelahiran Al-Qaeda. Bin Laden sang ketua al-Qaedah adalah seorang Wahabi tulen kelahiran Arab Saudi. Ia dibesarkan dan dijadikan anak angkat oleh CIA – USA. Konon anak angkat itu kini telah menjadi anak durhaka terhadap ibu angkatnya, USA. Bidan yang melahirkan wahabisme adalah kekuatan Imperialis Inggris, dan kini menjadi ‘kartu as’ pemerintahan biadab USA untuk menciptakan perpecahan dalam tubuh umat Islam. Nampaknya, skenario keji ini mulai menunjukkan hasil yang menggembirkan bagi USA dan kekuatan anti Islam lainnya ketika isu-isu tentang ancaman perang saudara di Irak menjadi headline seluruh media Barat yang diikuti secara ‘latah’ oleh media-media Indonesia. Jadi antara Inggris (pembonceng Zionis di Tim-Teng), keluarga Saud, Wahabisme dan USA (sekutu Inggris dan Israel) adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan. Oleh karenanya tidak terlalu mengherankan jika Wahaby selalu menghamba terhadap kerajaan Saudi. Dan sementara keluarga Saudi selalu bertekuk lutut di hadapan USA saudara kembar Inggris (penyokong kekuasaan keluarga Saud) dalam banyak masalah, termasuk memberi dukungan secara sembunyi-sembunyi terhadap Zionisme Internasional dan turut membenci negara-negara yang anti Israel. Hal itu karena Israel mendapat dukungan penuh dari USA dan Inggris.

Wallahu’alam bishawab

Prebedaan Wahabi dan Muhamaddiyah

Assalamu 'alaikum wr. wb.

Kalau menurut pandangan saya, Faham Wahabi dengan Faham Muhammadiyah
itu boleh dikata SERUPA tapi TIDAK SAMA.

Faham Wahabi mengharamkan Tahlil, Yasinan, Talkin Mayit, Ziarah kubur
Nisfu Sya'ban dsb, Faham Muhammadiyah Juga begitu.
Sama-sama tidak boleh memberi nisan pada makam.
Faham Wahabi tidak Qunut pada Sholat SUBUH Faham Muhammadiyah juga
sama.
Azan Jum'at sama-sama hanya satu kali, walaupun di Masjidil Harom dan
masjid Nabawi azannya 2 kali. malahan di Masjid Nabawi Azan Shubuhnya
juga 2 kali.

Perbedaannya : Faham Wahabi mengharamkan Maulid Nabi, adapun Faham
Muhammadiyah Sekarang sudah tidak mengharamkannya lagi, soalnya
setiap tahun Organisasi Muhammadiyah merayakan HARLAH (Hari Lahir)
Organisasi, mosok ya Maulid Nabi haram ??
Perubahan ini terjadi sekitar tahun 1980-an dibawah kepemimpinan
Bapak Amin Rais(CMIIW), tapi sebelumnya di tahun 1970-an Maulid Nabi
masih dianggap haram oleh Muhammadiyah.

Perbedaan Lainnya : Faham Wahabi mewajibkan memanjangkan Jenggot dan
mengharamkan Kumis serta menggantung Celana Panjang / Jubah.
Faham Muhammadiyah yang sekarang tidak begitu mempermasalahkan
penampilan yang penting hatinya (niat) OK.

Faham Wahabi MASIH mempermasalahkan hal-hal yang bersifat khilafiah
para ulama, misalnya soal bid'ah dan hal-hal sepele (furu'/cabang)
Adapun Faham Muhammadiyah yang sekarang (sejak 1980-an) tidak begitu
mempermasalahkannya lagi, semua tergantung niatnya masing-masing
(Innama a'malu bin-niyyah)
Kecuali bagi perorangan2, hal-hal seperti itu masih suka
diperdebatkan, tapi gaungnya tidak seperti jaman dulu dibawah 1980-an.


Sebenarnya kedua-duanya mengambil dalil dari Riwayat suatu Hadits
yang sama, yaitu HANYA hadits-hadits shohih saja, baik dalam hal
Ibadah maupun muamalah maupun Fadhilail Amal.
Faham Wahabi malahan sangat leterleks (tektual) sehingga nampak
begitu ekstrim dalam memahami suatu hadits/Ayat, mereka tak ingin
menggunakan akal/ra'yu (walaupun akal sehat) untuk menafsirkan suatu
ayat/teks hadits. Pokoknya bagi mereka hitam-putih.
Ijma Ulama konon bagi mereka cuma akal-akalan.

Adapun Muhammdiyah agak sedikit moderat, bila tak ada nash yang
sharih, ulama-ulama mereka melakukan ijtihad untuk mengambil suatu
keputusan (semacam baitul masail di NU) tapi KITAB KUNING (kitab-
kitab rujukan NU karangan ulama-ulama di masa lalu) bagi mereka tetap
tidak berlaku.
Hadits-hadits daif walapun sekedar fadhilail amal (Menambah semangat
dalam beribadah) mereka sama-sama tidak menggunakannya sepertimana NU.

Faham Wahabi dan Faham Muhammadiyah sama2 bermazhab Maliki, adapun
mayoritas di Indonesia dan Asia kebanyakan bermazhab Syafi'i.

Demikian yang saya ketahui, bilamana ada kekeliruan mohon dikoreksi,
bilamanapun ada yang ingin menambahkan dipersilahkan..

wassalam,

Film Sang Pencerah : Dakwah Halus Ajaran Wahabi


Adegan KH Achmad Dachlan sedang bersedekah kepada fakir-miskin.
Penasaran betul saya terhadapSang Pencerah, film arahan Hanung Bramantyo. Bukan sekadar karena ingin mengenal ‘lebih dekat’ sosok KH Achmad Dachlan, pendiri Muhammadiyah, namun seberapa penting film itu bagi masa depan Indonesia, hingga Pak Din Syamsuddin rela menjadi juru bicara, mengiklankan film itu di televisi.
Jujur, saya berharap film itu bisa menjadi sumber pencerahan, aufklarung, bagi masyarakat muslim Indonesia, yang sebagiannya, belakangan sering ‘terlibat’ dalam keributan antarumat beragama. Gegeran Ahmadiyah, pelarangan umat Kristen menjalankan ibadah seperti di Ciketing, Bekasi, dan banyak lagi. Belum lagi kalau kita menyimak catatan kekerasan atas nama agama seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI).
Kelahiran Darwis, yang kelak berganti nama Achmad Dachlan, menjadi pembuka yang memukau. Aneka jenis sesaji sebagai uba rampé prosesi upacara selamatan atas kelahiran sang jabang bayi cukup menyentak.
Dengan setting Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang budaya keagamaannya sinkretis, karena meneruskan tradisi Mataram yang semula Hindu lantas ‘di-Islam-kan’ para wali, maka sesaji menjadi kata kunci. Doa-doa yang mewujud pada praktek Yasinan dan Tahlilan, yang sejatinya menjadi bagian dari proses transisi Islamisasi, lantas terpenggal. Berhenti tanpa penjelasan, sehingga polemikkhilafiyah yang mulai ditinggalkan sejak beberapa tahun belakangan, justru kembali mengemuka lewat film ini.
Ketidaksukaan Darwis remaja terhadap praktek pemberian sesaji dan upacara membakar kemenyan di bawah ringin kurung di alun-alun selatan kraton, misalnya, terasa janggal. Saat itu, Darwis belum tercerahkan. Bahwa ia kurang sreg terhadap praktek klenik demikian, boleh jadi benar. Hanya saja, tak ada penjelasan, dari mana dan atas ajaran siapa sehingga memunculkan sikap dan tindakan penolakan yang frontal.
Dalam benak saya, ada adegan yang memberi gambaran kepada penonton awam, bahwa sikap yang demikian kuat dipegangnya itu merujuk pada ajaran tertentu. Apalagi, ia dilahirkan dari keluarga yang dekat dengan tradisi keagamaan sinkretis ala Masjid Kauman, masjid agung yang serba diatur oleh Sultan sebagai penguasa tunggal dalam bidang politik dan agama.
Sejarah menunjukkan, paham pemurnian ajaran Islam justru ia peroleh usai proses naik hajinya yang kedua, pada 1902. Pada masa itulah ia terpengaruh gerakan pemurnian ajaran Islam, yakni kembali kepada Al Qur’an dan Hadis yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab, lalu secara teratur mempelajari pemikiran para reformis seperti Sayid Jamaluddin al-Afghani dan Tafsir al Manar karya Muhammad Abduh.
Sepulang dari hajinya yang kedua itulah, ia lantas berkeinginan kuat menghapus praktek keagamaan yang dianggap bid’ah, khurafat dan takhayul, sehingga perlu mendirikan organisasi Muhammadiyah pada 1912. Untuk mengikis praktek yang dinilainya tak bersandar pada aaran Qur’an dan hadis itulah, ia menggunakan jalur pendidikan dan dakwah, ya lewat Muhammadiyah itu.
Asal tahu saja, gagasan KH Achmad Dachlan lewat organisasi yang dibentuknya itu segera memperoleh dukungan memadai dari organisasi-organisasi Islam lokal yang kelak meleburkan diri menjadi Muhammadiyah. Di antaranya adalah Nurul Islam di Pekalongan, Al Munir dan Siratal Mustaqin (Makassar), Al Hidayah (Garut), Sidiq Amanah Tabligh Fathanah (Sala) dan belasan organisasi di Yogyakarta.
Hingga di sini, sosok Achmad Dachlan tak tergambar secara gamblang melalui Sang Pencerah. Malah, kekiaian Darwis dewasa justru terganggu dengan kurang fasihnya Lukman Sardi berbahasa Arab. Bahkan, untuk yang ‘standar’ seperti kalimat Assalamu’alaikum saja masih terasa kedororan.
Tentu, saya tak hendak mengolok-olok karya yang secara artistik tergolong sangat bagus itu. Pun, saya tak ingin membawa film ini ke ranah politik. Apapun, Sang Pencerah bukanlah film dokumenter yang harus mengupas sosok Darwis lengkap dengan kiprahnya dalam segala bidang.
Saya memakluminya sebagai film cerita, yang kisah dari jalinan ceritanya bisa dijadikan teladan. Ya kearifannya, kesantunannya yang menyejukkan, dan hal-hal yang serba baik lainnya, sehinggahikmah-nya benar-benar mampu menggugah umat Islam di Indonesia yang kini seperti kehilangan panutan dan gampang marah, mudah menyerang dan menyalahkan hingga mengkafirkan selain golongannya.
Saya rasa, sekian dulu uneg-uneg saya tentang Sang Pencerah, mengenai sosok KH Achmad Dachlan yang saya yakini memiliki segudang teladan, khususnya bagi saya. Esok atau lusa, semoga saya bisa menuliskan catatan tambahan, sebab hari ini, saya ingin menontonnya lagi. Saya suka filmnya, terutama akan keindahan gambar-gambarnya.

Film Sang Pencerah punya beban psikologis berupa biografi Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Film ini tak boleh semata2 hiburan. Fakta Ahmad Dahlan ternyata bernama asli Muhammad adalah sangat menarik. Seperti Abdurrahman Wahid yang ternyata Abdurrahman Ad Dakhil. Judul sangat menjawab kebutuhan biografi dlm film ini. Dan, film ini sah berbicara "Tentang Ahmad Dahlan", bukan tentang Muhammadiyah.

Di poster film tertulis judul "Sang Pencerah, film Tentang Ahmad Dahlan". Seharusnya tak ada beban biografi Muhammadiyah di sini. Saya memberi nilai 8 pada sinematografi film ini. Namun, saya merasa perlu cermat memelototi isu yang diangkat. Film dibuka dengan judenganement pengikut aliran Syekh Siti Jenar yang sesat -- yang pertahankan ritual sesaji shg ajaran Islam terbelok. Padahal, setahu saya, mistisisme Siti Jenar ga ada hubungann dengan sesaji & arwah2. Dia ajarkan mistisisme yang langsung ke Tuhan.
Mistisisme Siti Jenar mirip2 dengan Al Hallaj. "Siti Jenar ora ono, sing ono Allah. Allah ora ono, sing ono Siti Jenar." Ga ada sesaji2! Sesaji justru dibawa oleh Sunan Kalijaga ketika ia memasukkan Islam dalam masyarakat Hindu. Terjadi kawin-mawin budaya di situ. Sesaji, mantra, wayang, gamelan, dsb yang berbau Hindu dibawa oleh Kalijaga. So, judenganement thd Siti Jenar terasa salah alamat.

Kyai Penghulu, Ki Lurah Jamaah, Khatib Masjid Gede tinggal di Kauman di sekitar keraton. Mereka lebih ke Kalijaga, bukan Jenar. Sampai sekarang pun masih ada 2 kyai di kalangan keraton: kyai Kauman & kyai Hindu. Sebab, keraton memang tak lepas Hinduism. Terjadi simplifikasi yang memprihatinkan pd isu sesaji di film ini. Mosok sesaji "hanya dicolong"? That's it! Ga ada adegannya lagi. Padahal sesaji menjadi isu penting selain Yasinan&Tahlilan dan Kiblat -- di samping isu utama: pendirian Muhammadiyah. Isu Yasinan&Tahlilan yang seolah jadi isu abadi antara NU & Muhammadiyah juga diangkat di sini -- zonder adegan Yasinan&Tahlilan. Ya. Betul2 tidak ada adegan Yasinan&Tahlilan di film ini! Padahal, Ahmad Dahlan diadili salah satunya karena melarang Yasinan&Tahlilan.

Ada kejutan di adegan Ahmad Dahlan pulang dari Makkah membawa biola. Kelak, di adegan berikutnya biola menjadi senjata yang vital. Kenapa saya sebut senjata vital? Karena Hanung Bramantyo menempatkan biola sebagai ruh terpenting film ini. Saya yakin Hanung Bramantyo tak berani bermain2 sejarah soal fakta benar tidaknya Ahmad Dahlan (bisa) bermain biola. So, anggaplah Ahmad Dahlan memang (bisa) bermain biola. Lalu, mengapa saya menyebutnya sbg ruh terpenting dlm film ini? Sebab, santri bertanya,"Apakah agama itu, Kyai?" dan Ahmad Dahlan menjawab dengan memainkan biola. Ini adegan yang sangat vital & sensitif. Jawaban seorang ulama tentang pertanyaan "Apakah agama itu?" adalah jawaban yang sangat penting yang meletakkan fundamen film ini!

Pertanyaannya: benarkah jawaban Ahmad Dahlan yang dengan memainkan biola adl KUTIPAN ASLI dari rekam sejarah/biografinya? Atau fiksimini? Kalo memang benar permainan biola berjudul "Apakah Agama Itu?" sesuai kutipan aslinya, WOW! Kalo ternyata cuma rekaan: WADOOOWW!!! Selebihnya, Ahmad Dahlan berkata,"Agama hakikatnya seperti musik. Menentramkan, bla-bla-bla..." Tapi, itu pun tak tecermin di film.

Kenapa saya sebut tak tecermin? Lha di sepanjang fim, tak ada adegan yang menunjukkan Ahmad Dahlan & pengikutnya tentram. Mereka gusar! So, teori Ahmad Dahlan bahwa "agama hakikatnya seperti musik yang menentramkan" justru dibantah sendiri oleh naskah/adegan berikutnya. Dan, saya tidak diberitahu oleh sang pembuat film tentang bagaimana Ahmad Dahlan tiba2 bisa main biola. Apakah belajar di kapal?

Soal Yasinan&Tahlilan, saya ga tahu sejak kapan tradisi ini muncul. Tapi kok saya ga yakin Yasinan&Tahlilan ada sejak era Kalijaga. Kalo Yasinan&Tahlilan dikaitkan dengan Nyekar/Nyadran/Ziarah Kubur, beda lagi ceritanya. Nyadran dari kata Saddra: berhubungan dengan arwah. Saddra adl bahasa Sanskrit. So, ziarah kubur adl peninggalan Hindu/Buddha/Jawa. Ga ada urusan dengan Kalijaga atau Jenar. Ziarah jadi ada urusannya dengan Kalijaga saat Islam dibawa masuk&harus kawin-mawin dengan budaya lokal. But, it had nothing to do with Jenar!

Persoalan lain film ini adl kedangkalannya. Isu hanya diangkat di permukaan, dialog penyelesaiannya pun cenderung searah. Sesaji jika dikupas sbg warisan ajaran Kalijaga, wuih bagus banget nilai2 kearifan lokalnya. Tapi film ini terlanjur menuduh Jenar. Tapi, ya itu tadi: terjadi simplifikasi. Cuma dikasih adegan: "anak mau nikah, saya ga punya duit, bolehkah tanpa slametan/sesaji?"

"Saya mau Yasinan&Tahlilan, tapi gak punya duit, bolehkah ga usah Yasinan&Tahlilan?" Ini simplifikasi yang na'udzu billahi min dzalik! Seolah2 sesaji, Yasinan, dan Tahlilan cuma soal duit. Punya duit, laksanaken. Ga punya duit, gak usah gak apa2. Where is the value? Mengapa film ini cenderung menuduh Siti Jenar? Saya menduga, karena pembuat film tak mau ada gesekan NU-Muhammadiyah. Kenapa ga mau ada gesekan NU-Muhammadiyah? Ya karena film ini lebih "Tentang Muhammadiyah" daripada "Tentang Ahmad Dahlan". Kalo yang dituduh adalah Sunan Kalijaga, wah bahaya. Sunan yang satu ini sangat dihormati NU. So, Siti Jenar-lah yang jadi kambing hitam. Coba seandainya dijuduli , edisi bahasa Inggris-nya bisa jadi The Dervish. Wuih, sufistik sekali! Bisa jauh lebih keyyyeeen :))

Nah, kalau pun Ahmad Dahlan memerangi mereka yang masih beritual sesaji, salah alamat jika yang diperangi kaum-nya Islam Penghulu. Mereka yang masih beritual sesaji bukan dari golongan santri, apalagi santri Kauman, melainkan dari golongan ABANGAN. Mostly: Kejawen. So, film ini seharusnya Ahmad Dahlan vs Abangan (+Islam Yasinan&Tahlilan). Tapi saya samasekali tak melihat ada kaum abangan di sini.
Konflik dibangun & mendapat porsi yang paling besar pada isu Kiblat. Thd hal ini, saya rasa tak perlu dikritisi karena sudah sip :). Selebihnya, tentang perobohan Langgar Kidoel, gesekan2 soal "Kyai Kafir", dan gesekan "keluarga" cukuplah mewarnai film ini.

Film ini membubuhkan "Tentang Ahmad Dahlan" namun seingat saya tak ada kata "based on true story/berdasar kisah nyata". Benarkah? Jika saya yang luput melihat, mohon maaf. Tapi, jika memang tak ada penegasan "based on true story/berdasar kisah nyata", ya wassalam. Maka, saya memahami film ini (hanya) sebagai sebuah versi "Tentang Ahmad Dahlan" -- meski saya meragukan riset & dokumennya. Mengapa mostly anggap film ini bagus? Mengapa disebut perjuangkan perbedaan pendapat & kebebasan beragama? Ya karena dapet konteks. Saya rasa film ini harus membayar mahal pada Ahmadiyah. Sebab, ia mendapat konteks -- menjadi kontekstual -- karena isu Ahmadiyah. Jika tak ada isu Ahmadiyah, saya agak susah mencarikan konteks bagi film ini. Sebab, Muhammadiyah pun sdengan tak ada isu hangat. Penyerangan masjid, pelarangan ibadah, pengkafiran sesama Muslim, dengan terjadi terhadap Ahmadiyah. Dari situlah film ini dapet konteks.

Beredar kabar tentang Maklumat PBNU : Hati-hati menonton film yang secara halus membawa misi penyebaran ajaran wahaby dengan judul film SANG PENCERAH garapan sineas muda Hanung Bramantyo, lebih bijak jika kita menyerukan pada kawan-kawan lain unttuk tidak menonton film garapan Hanung yang bermuatan faham wahaby tersebut.
Masalahnya paham wahabi sangat berbahaya. . .taqwa ialah kunci kemenangan umat islam melawan yahudi, dan tawassul ialah tangga menuju taqwa. .bagaimana bisa kunci itu diraih bila jalan / tangga menuju kesana dibilang sesat ?. . .
Kalau kita cukup ilmu boleh ambil hkmahnya saja. .tapi buat yang masih awam, itu film bakal di telan mentah-mentah. . .
KH.Ahmad Dahlan sebenarnya juga aswaja, beliau juga tahlil tawasul burdah dll karena beliau murid dari syech kholil bangkalan dan juga teman syech hasim asary. tapi gak tau kenapa generasi sesudahnya merubah. Ya, karena beliau murid dari Syaikh Kholil Bangkalan, dan juga menurut cerita bahwa ketika mendirikan Muhammadiyah sebenarnya tidak di ridlai oleh Syaikh Kholil Bangkalan. Kepastiannya tentang hal ini. Wallahu A'lam.
Konon (tentu saja ini mungkin sekedar gosip yang masih wallahu'alam kebenarannya), ketika beliau telah 'berubah' dari beliau yang dahulu (menurut penerus beliau yang disebut aswaja murni dan menjauh dari hal-hal bid'ah), setelah menuntut ilmu jauh kenegeri seberang, beliau pulang ke kampung halaman dan sowan kepada guru beliau dahulu, seorang kiyai sufi yang aswaja tulen.. dalam diskusi antara guru dan murid tersebut, tjdlah silang pendapat antara murid dan guru.. sampai pada akhirnya, ketika beliau pamit dari rumah sang guru.. wallahu'alam entah mengapa, beliau tidak bisa berjalan.. tetapi ngesot (merangkak) dari rumah sang guru ke rumah beliau.. yaa tentu saja, itu cuma cerita.. yang kebenarannya wallahu'alam.. tapi banyak yang komentar kalau itu adalah karomah sang mursyid yang ditentang oleh beliau yang telah 'berubah'.. yaa bagaimanapun, beliau adalah tokoh besar yang saya kagumi dan hormati.. pendiri ormas yang besar di Indonesia.

Latar Belakang Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia Dan Paham Wahabi.

http://qitori.files.wordpress.com/2009/07/saud-and-roosevelt.jpg?w=300&h=267. di dalam sebuah artikelnya yang berjudul : Britain and the Rise of Wahhabism and the House of Saud menyajikan tinjauan ulang tentang sejarah Wahabisme, peran Pemerintah Inggeris di dalam perkembangannya, dan hubungannya dengan peran keluarga kerajaan Saudi. “Salah satu sekte Islam yang paling kaku dan paling reaksioner saat ini adalah Wahabi,” demikian tulis Dr. Abdullah Mohammad Sindi dalam pembukaan artikelnya tersebut. Dan kita tahu bahwa Wahabi adalah ajaran resmi Kerajaaan Saudi Arabia, tambahnya.

Wahabisme dan keluarga Kerajaan Saudi telah menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan sejak kelahiran keduanya. Wahabisme-lah yang telah menciptakan kerajaan Saudi, dan sebaliknya keluarga Saud membalas jasa itu dengan menyebarkan paham Wahabi ke seluruh penjuru dunia. One could not have existed without the other – Sesuatu tidak dapat terwujud tanpa bantuan sesuatu yang lainnya.

Wahhabisme memberi legitimasi bagi Istana Saud, dan Istana Saud memberi perlindungan dan mempromosikan Wahabisme ke seluruh penjuru dunia. Keduanya tak terpisahkan, karena keduanya saling mendukung satu dengan yang lain dan kelangsungan hidup keduanya bergantung padanya.

Tidak seperti negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme memperlakukan perempuan sebagai warga kelas tiga, membatasi hak-hak mereka seperti : menyetir mobil, bahkan pada dekade lalu membatasi pendidikan mereka.

Juga tidak seperti di negeri-negeri Muslim lainnya, Wahabisme :
- melarang perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw
- melarang kebebasan berpolitik dan secara konstan mewajibkan rakyat untuk patuh secara mutlak kepada pemimpin-pemimpin mereka.
- melarang mendirikan bioskop sama sekali.
- menerapkan hukum Islam hanya atas rakyat jelata, dan membebaskan hukum atas kaum bangsawan, kecuali karena alasan politis.
- mengizinkan perbudakan sampai tahun ’60-an.
Mereka juga menyebarkan mata-mata atau agen rahasia yang selama 24 jam memonitor demi mencegah munculnya gerakan anti-kerajaan.

Wahabisme juga sangat tidak toleran terhadap paham Islam lainnya, seperti terhadap Syi’ah dan Sufisme (Tasawuf). Wahabisme juga menumbuhkan rasialisme Arab pada pengikut mereka. 1] Tentu saja rasialisme bertentangan dengan konsep Ummah Wahidah di dalam Islam.

Wahhabisme juga memproklamirkan bahwa hanya dia saja-lah ajaran yang paling benar dari semua ajaran-ajaran Islam yang ada, dan siapapun yang menentang Wahabisme dianggap telah melakukan BID’AH dan KAFIR!

LAHIRNYA AJARAN WAHABI:
Wahhabisme atau ajaran Wahabi muncul pada pertengahan abad 18 di Dir’iyyah sebuah dusun terpencil di Jazirah Arab, di daerah Najd.

Kata Wahabi sendiri diambil dari nama pendirinya, Muhammad Ibn Abdul-Wahhab (1703-92). Laki-laki ini lahir di Najd, di sebuah dusun kecil Uyayna. Ibn Abdul-Wahhab adalah seorang mubaligh yang fanatik, dan telah menikahi lebih dari 20 wanita (tidak lebih dari 4 pada waktu bersamaan) dan mempunyai 18 orang anak. 2]

Sebelum menjadi seorang mubaligh, Ibn Abdul-Wahhab secara ekstensif mengadakan perjalanan untuk keperluan bisnis, pelesiran, dan memperdalam agama ke Hijaz, Mesir, Siria, Irak, Iran, dan India.

Walaupun Ibn Abdul-Wahhab dianggap sebagai Bapak Wahabisme, namun aktualnya Kerajaan Inggeris-lah yang membidani kelahirannya dengan gagasan-gagasan Wahabisme dan merekayasa Ibn Abdul-Wahhab sebagai Imam dan Pendiri Wahabisme, untuk tujuan menghancurkan Islam dari dalam dan meruntuhkan Daulah Utsmaniyyah yang berpusat di Turki. Seluk-beluk dan rincian tentang konspirasi Inggeris dengan Ibn Abdul-Wahhab ini dapat Anda temukan di dalam memoar Mr. Hempher : “Confessions of a British Spy” 3]

Selagi di Basra, Iraq, Ibn Abdul-Wahhab muda jatuh dalam pengaruh dan kendali seorang mata-mata Inggeris yang dipanggil dengan nama Hempher yang sedang menyamar (undercover), salah seorang mata-mata yang dikirim London untuk negeri-negeri Muslim (di Timur Tengah) dengan tujuan menggoyang Kekhalifahan Utsmaniyyah dan menciptakan konflik di antara sesama kaum Muslim. Hempher pura-pura menjadi seorang Muslim, dan memakai nama Muhammad, dan dengan cara yang licik, ia melakukan pendekatan dan persahabatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dalam waktu yang relatif lama.

Hempher, yang memberikan Ibn Abdul-Wahhab uang dan hadiah-hadiah lainnya, mencuci-otak Ibn Abdul-Wahhab dengan meyakinkannya bahwa : Orang-orang Islam mesti dibunuh, karena mereka telah melakukan penyimpangan yang berbahaya , mereka – kaum Muslim – telah keluar dari prinsip-prinsip Islam yang mendasar, mereka semua telah melakukan perbuatan-perbuatan bid’ah dan syirik.

Hempher juga membuat-buat sebuah mimpi liar (wild dream) dan mengatakan bahwa dia bermimpi Nabi Muhammad Saw mencium kening (di antara kedua mata) Ibn Abdul-Wahhab, dan mengatakan kepada Ibn Abdul-Wahhab, bahwa dia akan jadi orang besar, dan meminta kepadanya untuk menjadi orang yang dapat menyelamatkan Islam dari berbagai bid’ah dan takhayul.

Setelah mendengar mimpi liar Hempher, Ibn Abdul-Wahhab jadi ge-er (wild with joy) dan menjadi terobsesi, merasa bertanggung jawab untuk melahirkan suatu aliran baru di dalam Islam yang bertujuan memurnikan dan mereformasi Islam.

Di dalam memoarnya, Hempher menggambarkan Ibn Abdul-Wahhab sebagai orang yang berjiwa “sangat tidak stabil” (extremely unstable), “sangat kasar” (extremely rude), berakhlak bejat (morally depraved), selalu gelisah (nervous), congkak (arrogant), dan dungu (ignorant).

Mata-mata Inggeris ini, yang memandang Ibn Abdul-Wahhab sebagai seorang yang bertipikal bebal (typical fool), juga mengatur pernikahan mut’ah bagi Ibn Abdul Wahhab dengan 2 wanita Inggeris yang juga mata-mata yang sedang menyamar.

Wanita pertama adalah seorang wanita beragama Kristen dengan panggilan Safiyya. Wanita ini tinggal bersama Ibn Abdul Wahhab di Basra. Wanita satunya lagi adalah seorang wanita Yahudi yang punya nama panggilan Asiya. Mereka menikah di Shiraz, Iran. 4]

KERAJAAN SAUDI-WAHHABI PERTAMA : 1744-1818
Setelah kembali ke Najd dari perjalanannya, Ibn Abdul-Wahhab mulai “berdakwah” dengan gagasan-gagasan liarnya di Uyayna. Bagaimana pun, karena “dakwah”-nya yang keras dan kaku, dia diusir dari tempat kelahirannya. Dia kemudian pergi berdakwah di dekat Dir’iyyah, di mana sahabat karibnya, Hempher dan beberapa mata-mata Inggeris lainnya yang berada dalam penyamaran ikut bergabung dengannya. 5]

Dia juga tanpa ampun membunuh seorang pezina penduduk setempat di hadapan orang banyak dengan cara yang sangat brutal, menghajar kepala pezina dengan batu besar 6]

Padahal, hukum Islam tidak mengajarkan hal seperti itu, beberapa hadis menunjukkan cukup dengan batu-batu kecil. Para ulama Islam (Ahlus Sunnah) tidak membenarkan tindakan Ibn Abdul-Wahhab yang sangat berlebihan seperti itu.

Walaupun banyak orang yang menentang ajaran Ibn Abdul-Wahhab yang keras dan kaku serta tindakan-tindakannya, termasuk ayah kandungnya sendiri dan saudaranya Sulaiman Ibn Abdul-Wahhab, – keduanya adalah orang-orang yang benar-benar memahami ajaran Islam -, dengan uang, mata-mata Inggeris telah berhasil membujuk Syeikh Dir’iyyah, Muhammad Saud untuk mendukung Ibn Abdul-Wahhab. 7]

Pada 1744, al-Saud menggabungkan kekuatan dengan Ibn Abdul-Wahhab dengan membangun sebuah aliansi politik, agama dan perkawinan. Dengan aliansi ini, antara keluarga Saud dan Ibn Abdul-Wahhab, yang hingga saat ini masih eksis, Wahhabisme sebagai sebuah “agama” dan gerakan politik telah lahir!

Dengan penggabungan ini setiap kepala keluarga al-Saud beranggapan bahwa mereka menduduki posisi Imam Wahhabi (pemimpin agama), sementara itu setiap kepala keluarga Wahhabi memperoleh wewenang untuk mengontrol ketat setiap penafsiran agama (religious interpretation).

Mereka adalah orang-orang bodoh, yang melakukan kekerasan, menumpahkan darah, dan teror untuk menyebarkan paham Wahabi (Wahhabism) di Jazirah Arab. Sebagai hasil aliansi Saudi-Wahhabi pada 1774, sebuah kekuatan angkatan perang kecil yang terdiri dari orang-orang Arab Badui terbentuk melalui bantuan para mata-mata Inggeris yang melengkapi mereka dengan uang dan persenjataan. 8]

Sampai pada waktunya, angkatan perang ini pun berkembang menjadi sebuah ancaman besar yang pada akhirnya melakukan teror di seluruh Jazirah Arab sampai ke Damaskus (Suriah), dan menjadi penyebab munculnya Fitnah Terburuk di dalam Sejarah Islam (Pembantaian atas Orang-orang Sipil dalam jumlah yang besar).

Dengan cara ini, angkatan perang ini dengan kejam telah mampu menaklukkan hampir seluruh Jazirah Arab untuk menciptakan Negara Saudi-Wahhabi yang pertama.

Sebagai contoh, untuk memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai syirik dan bid’ah yang dilakukan oleh kaum Muslim, Saudi-Wahhabi telah mengejutkan seluruh dunia Islam pada 1801, dengan tindakan brutal menghancurkan dan menodai kesucian makam Imam Husein bin Ali (cucu Nabi Muhammad Saw) di Karbala, Irak. Mereka juga tanpa ampun membantai lebih dari 4.000 orang di Karbala dan merampok lebih dari 4.000 unta yang mereka bawa sebagai harta rampasan. 9]

Sekali lagi, pada 1810, mereka, kaum Wahabi dengan kejam membunuh penduduk tak berdosa di sepanjang Jazirah Arab. Mereka menggasak dan menjarah banyak kafilah peziarah dan sebagian besar di kota-kota Hijaz, termasuk 2 kota suci Makkah dan Madinah.

Di Makkah, mereka membubarkan para peziarah, dan di Madinah, mereka menyerang dan menodai Masjid Nabawi, membongkar makam Nabi, dan menjual serta membagi-bagikan peninggalan bersejarah dan permata-permata yang mahal.

Para teroris Saudi-Wahhabi ini telah melakukan tindak kejahatan yang menimbulkan kemarahan kaum Muslim di seluruh dunia, termasuk Kekhalifahan Utsmaniyyah di Istanbul.

Sebagai penguasa yang bertanggung jawab atas keamanan Jazirah Arab dan penjaga masjid-masjid suci Islam, Khalifah Mahmud II memerintahkan sebuah angkatan perang Mesir dikirim ke Jazirah Arab untuk menghukum klan Saudi-Wahhabi.

Pada 1818, angkatan perang Mesir yang dipimpin Ibrahim Pasha (putra penguasa Mesir) menghancurkan Saudi-Wahhabi dan meratakan dengan tanah ibu kota Dir’iyyah .

Imam kaum Wahhabi saat itu, Abdullah al-Saud dan 2 pengikutnya dikirim ke Istanbul dengan dirantai dan di hadapan orang banyak, mereka dihukum pancung. Sisa klan Saudi-Wahhabi ditangkap di Mesir.//
Dr. Abdullah Mohammad Sindi

________________________________________

* Dr. Abdullah Mohammad Sindi adalah seorang profesor Hubungan Internasional (professor of International Relations) berkebangsaan campuran Saudi-Amerika. Dia memperoleh titel BA dan MA nya di California State University, Sacramento, dan titel Ph.D. nya di the University of Southern California. Dia juga seorang profesor di King Abdulaziz University di Jeddah, Saudi Arabia. Dia juga mengajar di beberapa universitas dan college Amerika termasuk di : the University of California di Irvine, Cal Poly Pomona, Cerritos College, and Fullerton College. Dia penulis banyak artikel dalam bahasa Arab maupun bahasa Inggeris. Bukunya antara lain : The Arabs and the West: The Contributions and the Inflictions.

Catatan Kaki :
[1] Banyak orang-orang yang belajar Wahabisme (seperti di Jakarta di LIPIA) yang menjadi para pemuja syekh-syekh Arab, menganggap bangsa Arab lebih unggul dari bangsa lain. Mereka (walaupun bukan Arab) mengikuti tradisi ke-Araban atau lebih tepatnya Kebaduian (bukan ajaran Islam), seperti memakai jubah panjang, menggunakan kafyeh, bertindak dan berbicara dengan gaya orang-orang Saudi.
[2] Alexei Vassiliev, Ta’reekh Al-Arabiya Al-Saudiya [History of Saudi Arabia], yang diterjemahkan dari bahasa Russia ke bahasa Arab oleh Khairi al-Dhamin dan Jalal al-Maashta (Moscow: Dar Attagaddom, 1986), hlm. 108.
[3] Untuk lebih detailnya Anda bisa mendownload “Confessions of a British Spy” : http://www.ummah.net/Al_adaab/spy1-7.html
Cara ini juga dilakukan Imperialis Belanda ketika mereka menaklukkan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia lewat Snouck Hurgronje yang telah belajar lama di Saudi Arabia dan mengirinmnya ke Indonesia. Usaha Snouck berhasil gemilang, seluruh kerajaan Islam jatuh di tangan Kolonial Belanda, kecuali Kerajaan Islam Aceh. Salah satu provokasi Snouck yang menyamar sebagai seorang ulama Saudi adalah menyebarkan keyakinan bahwa hadis Cinta pada Tanah Air adalah lemah! (Hubbul Wathan minal Iman). Dengan penanaman keyakinan ini diharapkan Nasionalisme bangsa Indonesia hancur, dan memang akhirnya banyak pengkhianat bangsa bermunculan.
[4] Memoirs Of Hempher, The British Spy To The Middle East, page 13.
[5] Lihat “The Beginning and Spreading of Wahhabism”, http://www.ummah.net/Al_adaab/wah-36.html
[6] William Powell, Saudi Arabia and Its Royal Family (Secaucus, N.J.: Lyle Stuart Inc., 1982), p. 205.
[7] Confessions of a British Spy.
[8] Ibid.
[9] Vassiliev, Ta’reekh, p. 117.