Kategori: Fiqh - Dibaca: 284 kali
Di  antara syari’at yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  kepada umatnya adalah meluruskan dan merapatkan shaf dalam shalat  berjamaah.
Hari ini, sunnah merapatkan dan meluruskan shaf  seakan menjadi usang dan lekang oleh kaum muslimin. Padahal, barangsiapa  yang melaksanakan syari’at, petunjuk dan ajaran-ajaran Rasulullah  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam meluruskan dan merapatkan shaf,  sungguh dia telah menunjukkan ittiba’ nya (mengikuti) dan hakikat  kecintaannya kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Shalat  berjamaah merupakan amal yang sangat dianjurkan oleh Rasulullah  Shallallaahu alaihi wa Sallam . Sebagaimana sabdanya, “Shalat berjamaah  lebih afdhal dari shalat sendirian dua puluh derajat”. Ketika shalat  berjamaah, meluruskan dan merapatkan shaf (barisan) sangat  diperintahkan, sebagaimana di dalam sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa  Sallam, Artinya, “Luruskan shafmu, karena sesungguhnya meluruskan shaf  itu merupakan bagian dari kesempurnaan shalat”. (Muttafaq ‘Alaih).
Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, artinya : “Apakah kalian  tidak berbaris sebagaimana berbarisnya para malaikat di sisi Rabb mereka  ?” Maka kami (para sahabat) berkata: “Wahai Rasulullah , bagaimana  berbarisnya malaikat di sisi Rabb mereka ?” Beliau menjawab : “Mereka  menyempurnakan barisan-barisan (shaf-shaf), yang pertama kemudian (shaf)  yang berikutnya, dan mereka merapatkan barisan” (HR. Muslim, An Nasa’i  dan Ibnu Khuzaimah).
Berkata Ibnu Hazm rahimahullahu : hadits ini  dan hadits-hadits lain yang semisal merupakan dalil wajibnya merapikan  shaf sebelum shalat dimulai. Karena menyempurnakan shalat itu wajib,  sedang kerapihan shaf merupakan bagian dari kesempurnaan shalat, maka  merapikan shaf merupakan kewajiban. Juga lafaz amr (perintah) dalam  hadits di atas menunjukkan wajib. Selain itu, Rasulullah Shallallaahu  alaihi wa Sallam setiap memulai shalat, selalu menghadap kepada jamaah  dan memerintahkan untuk meluruskan shaf.
Teladan dari Nabi dan Para Shahabat 
Umar  bin Khaththab pernah memukul Abu Utsman An-Nahdi karena ke luar dari  barisan shalatnya. Juga Bilal pernah melakukan hal yang sama, seperti  yang dikatakan oleh Suwaid bin Ghaflah bahwa Umar dan Bilal pernah  memukul pundak kami dan mereka tidak akan memukul orang lain, kecuali  karena meninggalkan sesuatu yang diwajibkan (Fathul Bari juz 2 hal 447).  Itulah sebabnya, ketika Anas tiba di Madinah dan ditanya apa yang  paling anda ingkari, beliau berkata, “Saya tidak pernah mengingkari  sesuatu melebihi larangan saya kepada orang yang tidak merapikan  shafnya.” (HR. A-Bukhari).
Bahkan Rasulullah Shallallaahu alaihi  wa Sallam sebelum memulai shalat, beliau berjalan merapikan shaf dan  memegang dada dan pundak para sahabat dan bersabda, “Wahai sekalian  hamba Allah! Hedaklah kalian meluruskan shaf-shaf kalian atau (kalau  tidak), maka sungguh Allah akan membalikkan wajah-wajah kalian.” (HR.  Al-Jama’ah, kecuali al-Bukhari).
Di dalam riwayat Abu Hurairah,  dia berkata, “Rasulullah biasa masuk memeriksa ke shaf-shaf mulai dari  satu ujung ke ujung yang lain, memegang dada dan pundak kami seraya  bersabda, “Janganlah kalian berbeda (tidak lurus shafnya), karena akan  menjadikan hati kalian berselisih” (HR. Muslim).
Imam  Al-Qurthubi berkata, “Yang dimaksud dengan perselisihan hati pada hadits  di atas adalah bahwa ketika seorang tidak lurus di dalam shafnya dengan  berdiri ke depan atau ke belakang, menunjukkan kesombongan di dalam  hatinya yang tidak mau diatur. Yang demikian itu, akan merusak hati dan  bisa menimbulkan perpecahan (Fathul Bari juz 2 hal 443). Pendapat ini  juga didukung oleh Imam An-Nawawi, beliau berkata, berbeda hati  maksudnya terjadi di antara mereka kebencian dan permusuhan dan  pertentangan hati. Perbedaan ketika bershaf merupakan perbedaan zhahir  dan perbedaan zhahir merupakan wujud dari perbedaan bathin yaitu hati.
Susunan Shaf Shalat
Berdiri  di dalam shaf bukan hanya sekedar berbaris lurus, tetapi juga dengan  merapatkan kaki dan pundak antara satu dengan yang lainnya seperti yang  dilakukan oleh para shahabat. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar Radhiallaahu  anhu Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya  “Rapatkankan shaf, dekatkan (jarak) antara shaf-shaf itu dan ratakan  pundak-pundak.” (HR. Abu Daud dan An-Nasai, dishahihkan oleh Ibnu  Hibban).
Hadits dari Nu’man Bin Basyir, beliau berkata : “Dan  aku melihat semua laki – laki yang shalat saling mendekatkan antara  pundak dengan pundak lainnya dan mata kaki dengan mata kaki lainnya “  (HR. Bukhari).
Di dalam riwayat lain oleh Abu Dawud Rasulullah  bersabda, Artinya “Demi jiwaku yang ada di tanganNya, saya melihat  syaitan masuk di celah-celah shaf, sebagaimana masuknya anak kambing.”
Posisi Makmum di Dalam Shalat 
Apabila  imam shalat berjamaah hanya dengan seorang makmum, maka dia (makmum)  disunnahkan berdiri di sebelah kanan imam(sejajar dengannya),  sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Abbas bahwa beliau pernah shalat  berjamaah bersama
  Rasulullah Shalallaju ‘alaihi wa sallam pada suatu malam dan berdiri di  sebelah kirinya. Maka Rasulullah Shalallaju ‘alaihi wa sallam memegang  kepala Ibnu Abbas dari belakang lalu memindahkan di sebelah kanannya  (Muttafaq ‘Alaih). Dan hal ini juga berlaku pada wanita.
Apabila  makmum terdiri dari dua orang atau lebih, maka mereka berada di  belakang imam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Jabir radhiallahi  ‘anhu, beliau berkata : Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam berdiri shalat  maghrib, lalu aku dating dan berdiri di samping kirinya. Maka beliau  menarik diriku dan dijadikan di sampng kanannya. Tiba – tiba sahabatku  dating (untuk shalat), lalu kami berbaris di belakang beliau dan shalat  bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (HR. Ahmad).
Adapun  pendapat Kufiyyun (Ulama-ulama’ Kufah) yang mengatakan bahwa kalau  makmum terdiri dari dua orang maka yang satunya berdiri di sebelah kanan  Imam dan yang lainnya di sebelah kirinya, maka hal itu dibantah oleh  Ibnu Sirin, seperti yang diriwayatkan oleh Attahawi bahwa yang demikian  itu hanya boleh diamalkan, ketika shalat di tempat yang sempit yang  tidak cukup untuk membuat shaf di belakang.
Lain  halnya pada wanita. Apabila makmum makmum terdiri dari dua orang atau  lebih, maka mereka berada masing – masing berada di samping kiri dan  kanan sejajar dengan imam. Atau menempatkan imam wanita di tengah shaf.
Sebagaimana  hadits bahwa ‘Aisyah radhiallahu ‘anha shalat menjadi imam bagi kaum  wanita dan beliau berdiri di tengah shaff (HR. Baihaqi, Hakim,  Daruquthni dan Ibnu abi Syaibah).
Apabila  shalat berjamaah terdiri dari satu imam laki – laki dan satu makmum  wanita, maka wanita berdiri di belakang imam. Hadits dari Anas bin Malik  : “Rasulullah shalat maka saya dan seorang anak yatim berdiri di  belakangnya dan Ummu Sulaim berdiri di belakang kami” (Muttafaq ‘Alaih). 
Hadits di atas juga menjelaskan bahwa makmum wanita mengambil  posisi di belakang laki-laki, sekali pun harus bershaf sendirian. Dan  dia tidak boleh bershaf di samping laki-laki, apalagi di depannya.  Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang pertama dan seburuk-buruknya  adalah yang terakhir. Sebaliknya bagi wanita, sebaik-baik shaf baginya  adalah yang terakhir dan yang paling buruk adalah yang pertama. (HR.  Muslim dari Abu Hurairah). Dan shaf yang paling afdhal adalah di sebelah  kanannya imam. Dan dari situlah dimulainnya membuat shaf baru,  sebagaimana yang dikata-kan oleh Barra’ bin ‘Azib dengan sanad yang  shahih. Menyempurnakan shaf terdepan adalah yang dilakukan oleh para  malaikat, ketika berbaris di hadapan Allah.
Apabila  shalat berjamaah terdiri dari, satu imam, satu makmum dan satu jamaah  wanita, maka dalam hal ini, kita memadukan antara riwayat hadits dari  sahabat Ibnu Abbas dan Anas bin Malik di atas (lihat gambar). Yakni  makmum berdiri sejajar di samping kanan imam dan makmum wanita berada di  belakang mereka. 
Apabila  dalam shalat berjamaah terdapat makmum anak laki- laki, maka shaf anak  laki – laki ditempatkan di belakng shaf laki – laki dewasa. Sebagaimana  hadits dari Abu Malik al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi  Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menjadikan shaf laki – laki di depan anak –  anak, (dan) anak – anak di belakang mereka sedangkan kaum wanita di  belakang anak- anak (HR. Ahmad).Markaz al Fatwa menyebutkan bahwa yang paling utama adalah menempatkan anak-anak di belakang shaff laki-laki dewasa. Akan tetapi jika dikhawatirkan anak-anak itu akan bisa mengganggu orang-orang yang shalat atau ada shaff yang kurang penuh maka bariskanlah anak-anak itu bersama laki-laki dewasa. Dan ini tidaklah termasuk kedalam memutus shaff apabila usia anak-anak itu termasuk kedalam usia tamyiz dan dalam keadaan suci (berwudhu) dan jauh dari kemungkinan bahwa anak-anak itu tidak dalam keadaan bersuci. (Markaz al Fatwa, fatwa No. 35652)
Jika anak itu belum masuk usia tamyiz maka tidak seharusnya dia ditempatkan di tengah-tengah shaff agar tidak memutus shaff akan tetapi jika pun terpaksa ditempatkan di tengah-tengah saf maka tidaklah mempengaruhi kesahan shalat para jama’ah yang tersisa… Pada dasarnya shalat seorang makmum tidaklah batal dengan batalnya shalat salah seorang dari makmum yang lain...” (Markaz al Fatwa, fatwa No. 44924).
Adapun usia tamyiz seorang anak menurut Syeikh Ibnu Utsaimin adalah umumnya 7 tahun akan tetapi terkadang seorang anak sudah mencapai tamyiz di usia 5 tahun. Mahmud bin ar Rabi’ berkata.”Aku teringat bahwa wajahku pernah dimuntahi oleh Rasulullah saw satu kali sementara (saat itu) aku masih berusia 5 tahun.”
Ada sebagian anak-anak kecil yang sudah pandai dan mampu membedakan (tamyiz) di usia yang masih kecil sementara ada sebagian lainnya yang sudah baligh di usia 18 tahun namun dirinya belum tamyiz.” (Liqo’ al Bab al Maftuh juz 13 hal 37).
Faedah :
Dibolehkan seorang makmum shalat di lantai dua dari masjid atau dipisahkan dengan tembok atau lainnya dari imam, selama dia mendengar suara takbir imam. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hasan, “Tidak mengapa kamu shalat berjamaah dengan imam, walaupun di antara kamu dan imam ada sungai”. Ditambahkan oleh Abu Mijlaz, selama mendengar takbirnya imam (Shahih Al-Bukhari). Dan sebagian ulama juga menyaratkan harus bersambungnya shaf, namun hal ini masih diperdebatkan di antara para ulama. Juga kisah qiyamuramadhan (shalat tarawih), yang pertama kali yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam .
Larangan Membuat Shaf Sendirian
Seorang makmum dilarang membuat shaf sendirian, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Wabishah bin Mi’bad, bahwa Rasulullah melihat seseorang shalat di belakang shaf sendirian, maka beliau memerintahkan untuk mengulang shalatnya (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban).
Dan pada riwayat Thalq bin Ali ada tambahan, “Tidak ada shalat bagi orang yang bersendiri di belakang shaf”. Walaupun demikian sebagian ulama’ tetap menyatakan sah shalat seorang yang berdiri sendiri dalam satu shaf karena alasan hadits di atas sanadnya mudltharib (simpang siur), sebagai-mana yang dikatakan oleh Ibnu Abdil Barr.
Menurut Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin, jika seseorang menjumpai shaf yang sudah penuh, sementara ia sendirian dan tidak ada yang ditunggu, maka boleh baginya shalat sendiri di belakang shaf itu. Karena apabila ada larangan berhada-pan dengan kewajiban (jamaah bersama imam), maka di dahulu-kan yang wajib.
Mengisi Kekosongan
Untuk menjaga keutuhan shaf boleh saja seorang maju atau bergeser ketika mendapatkan ada shaf yang terputus. Sabda Nabi Shallallaahu alaihi wa Sallam yang diriwayatkan oleh Abu Juhaifah beliau bersabda, “Barangsiapa yang meme-nuhi celah yang ada pada shaf maka Allah akan mengampuni dosanya.” (HR. Bazzar dengan sanad hasan).
Tiada langkah paling baik melebihi yang dilakukan oleh seorang untuk menutupi celah di dalam shaf. Dan semakin banyak teman dan shaf dalam shalat berjamaah akan semakin afdhal, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ubay bin Ka’ab, Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam bersabda, Artinya “Shalat seorang bersama seorang lebih baik daripada shalat sendirian dan shalatnya bersama dua orang lebih baik daripada shalatnya bersama seorang. Dan bila lebih banyak maka yang demikian lebih disukai oleh Allah ‘Azza wa Jalla.” (Muttafaq ‘Alaih).
Dan ketika memasuki shaf untuk shalat disunahkan untuk melakukannya dengan tenang tidak terburu-buru, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abi Bakrah, bahwasanya ia shalat dan mendapati Nabi sedang ruku’ lalu dia ikut ruku’ sebelum sampai kepada shaf, maka Nabi berkata kepadanya, Artinya “Semoga Allah menambahkan kepadamu semangat (kemauan), tetapi jangan kamu ulangi lagi.” (HR. Al Bukhari) dan dalam riwayat Abu Daud ada tambahan: “Ia ruku’ sebelum sampai di shaf lalu dia berjalan menuju shaf.”
shaf wanita di samping kaum laki laki
- Yang Sunnah shaf wanita dibelakang laki-laki Dari Anas r.a., dia berkata," saya sholat bersama seorang yatim dibelakang Rasul dan Ummu Salamah di belakang kami"(HR.Bukhori Muslim).
 - Jika demikian shafnya, maka shaf wanita yang terbaik adalah yang terakhir (dibelakang).Imam Nawawi berkata : " Adapun shof kaum laki-laki maka ia berlaku secara umum, yakni yang paling baik adalah yang paling awal dan yang paling jelek adalah yang paling akhir. Sedangkan shof bagi kaum wanita apabila mereka sholat berjama'ah dengan kaum laki-laki maka shof yang terbaik adalah yang paling akhir dan yang terjelek adalah yang terdepan. Dan ketika mereka sholat berjama'ah dengan sesama kaum wanita maka mereka seperti kaum laki-laki, yakni yang paling baik adalah yang paling awal dan yang paling jelek adalah yang paling akhir."(Syarh Shohih Muslim:1/81 )
 -  Kalimat yang digunakan dalam shaf terbaik adalah bukan amr akan tetapi  tafdhil, dan di satu sisi tidak ada larangan shaf wanita disamping  laki-laki atau batalnya shalat wanita yang berada disamping laki-laki.  Dari  sini beberapa ulama berpendapat : sunnah shaf wanita dibelakang shaf laki-laki. Dan makruh (karena tidak sesuai sunnah) shaf wanita disamping  laki-laki, hanya saja tidak batal shalatnya, dengan kata lain sah  sholatnya (karena tidak ada nash yang menyatakan batal sholatnya).                                                       karena kadang kala ada kondisi makmum masbuk laki ( datang belakangan ) di mana pada tempat makmum laki sudah penuh, sedang yang bisa di tempati hanya tempat di belakang makmum wanita.  maka apakah Ia harus tetap berjamaah dg membuat saf di belakang wanita, atau malah tak solat berjama'ah. karena seorang laki laki tak boleh jam'ah di belakang wanita .... mungkin inilah pemikiran mengapa ulama' terdahului kususnya NU membolehkan wanita bersaf di samping laki 2 dg tujuan biar makmum masbuk bisa langsung bersaf di belakang sesuai jenis klamin tanpa harus menyalahi aturan lainnya. laki laki bersaf di belakang wanita....