By: Kholili Hasib, Mahasiswa Magister Pemikiran Islam Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Gontor
Perdebatan tentang titik temu agama-agama semitik dan kebenaran kitab suci Yahudi dan Kristen, telah cukup lama menjadi bahan diskusi dalam wacana pluralisme agama. Sudah sejak lama dikatakan oleh sebagian orang bahwa agama Yahudi dan Kristen termasuk agama samawi, dengan arti bahwa kedua agama tersebut adalah agama yang berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Ayat-ayat yang dijadikan justifikasi adalah surat al Maidah ayat 48 dan surat Ali Imran ayat 64. Benarkah mereka disebut agama samawi?
Pandangan inklusif terhadap agama-agama semit seperti yang diwacanakan kaum pluralis memang justifikasinya berbasis ayat-ayat Al Qur'an. Nurcholis Madjid mengenalkan konsep titik temu agama semitik dengan istilah kalimah sawa'. Menurut Cak Nur, kalimah sawa' adalah kalimat ide atau prinsip yang sama di antara agama-agama semitik yang diistilahkan dengan common platform.
Proyek common platform Cak Nur secara epistemologis semakin rancu ketika ia memaknai al-Islam sebagai sikap pasrah. Kesimpulan dia, Yahudi dan Kristen pun disebut al-Islam karena mereka juga pasrah kepada Tuhan Yahweh atau Elohim. Cak Nur mendasarkan pandangannya dengan ayat Al Qur'an surat al-Ma'idah :44 "Kamilah yang menurunkan Taurat. Yang ada petunjuk dan cahaya di dalamnya. Bagi orang beragama Yahudi. Dengan (aturan-aturan Kitab) itulah Nabi-Nabi berserah diri (kepada Tuhan)". Penggalan ayat tersebut bagi Cak Nur merupakan sinyal Al Qur'an bahwa terdapat titik temu ajaran agama-agama semitik.
Kesatuan yang dimaksud oleh kaum Pluralis sebenarnya kesatuan Tuhan, bukan kesatuan agama. Seperti yang dikatakan Paul Tillich – tokoh Kristen yang pluralis –, dimensi ajaran masing-masing berbeda, akan tetapi titik kesatuannya terdapat pada kesamaan Tuhan. Karena berbeda ajaran, maka jarak perbedaan itu tidaklah signifikan. Perbedaan itu, menurut kaum pluralis seperti perbedaan antar madzhab dalam Islam (perbedaan furu'). Mengutip pendapat Kamill Najjar dari kitab al-Tasyabuh wa al-Ikhtilaf, dalam buku Argumen Pluralisme Agama, Membangun Toleransi Berbasis al-Qur'an menulis bahwa perbedaan Islam dan Yahudi seperti perbedaan fikih di antara para imam madzhab.
Kesatuan yang dimaksud oleh kaum Pluralis sebenarnya kesatuan Tuhan, bukan kesatuan agama.
Pandangan tersebut dikokohkan dengan ayat Al Qur'an:
لِكُلِّ جَعَلْناَ مِتْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَجاً وَلَوْ شَاءَ اللّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا ءَاتَاكُمْ فَاسْتَبِقُوا الخَيْرَات إِلىَ اللّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيْعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَخْتَلِفُوْنَ.
"Untuk tiap-tiap umat diantara kamu. Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu." (QS. Al-Maidah: 48)
Baik pandangan Nurcholis Madjid atau buku Argumen Pluralisme Agama yang mendasarkan ayat-ayat Al Qur'an seperti tersebut di atas, dari sisi ilmiah cukup rapuh. Penggunaan kalimah sawa' seperti yang digunakan Cak Nur juga tidak sesuai dengan asbabun nuzul dan makna yang dikandung ayat tersebut.
Ayat tersebut (QS. Ali Imran: 64), turun ketika Rasulullah SAW berdiskusi dengan Nasrani Najran. Keterangan-keterangan yang disampaikan Nabi SAW tidak diterima oleh utusan Nasrani Najran, Rasulullah pun mengajak mubahalah, akan tetapi ajakan terakhir ini juga ditolak, karena mereka takut binasa. Akhirnya mereka lebih memilih membayar jizyah. Pada waktu itu Rasulullah SAW sangat mengharapkan mereka mau memeluk agama Islam. Maka turunlah ayat ini yang inti kandungannya agar Nabi SAW meninggalkan cara jidal, sebab cara jidal ternyata tidak membuat mereka sadar masuk Islam.
Sedangkan Imam Al-Qurtubiy dalam tafsirnya meriwayatkan, bahwa ayat tersebut turun ketika sekelompok Nasrani Najran dan Yahudi berselisih dan saling mengklaim sebagai pengikut Nabi Ibrahim. Orang Nasrani mengakatakan bahwa Nabi Ibrahim adalah seorang Nasrani dan Yahudi mengklaim bahwa agama Ibrahim adalah Yudaism, mereka menjadi bangsa yang paling utama disebabkan oleh Nabi Ibrahim. Lalu, Rasulullah SAW menengahi dan bersabda:”Tiap dua golongan itu (Yahudi dan Nasrani) berlepas diri dari Nabi Ibrahim dan agamanya. Akan tetapi Nabi Ibrahim adalah seorang muslim hanif dan aku (setia) pada agamanya (agama Ibrahim), maka ikutlah agamanya, yaitu agama Islam.”
Jadi, ayat tersebut sama sekali tidak mengajak persamaan antara agama ahl al-kitab, justru kalimah sawa' yang dimaksud adalah mengajak kepada agama Islam – yaitu agama yang menyembah Allah Yang Maha Esa, bukan menyembah Yahweh atau Elohim. Dalam ayat tersebut Rasulullah SAW malah mengajak penganut Yahudi dan Kristen untuk kembali kepada agama Tauhid, yaitu agama yang dibawa oleh nabi-nabi mereka.
Kalimah sawa' yang dimaksud adalah mengajak kepada agama Islam, yaitu agama yang menyembah Allah Yang Maha Esa, bukan menyembah Yahweh atau Elohim.
Imam Nawawiy al-Jawi al-Bantani mengutip pernyataan tegas Ibnu Anbary ketika mengomentari surat Al-Ma'idah ayat 44 – ayat yang diklaim Nurcholis Madjid bahwa Yahudi sebenarnya juga Islam - : “(Ayat) ini menolak terhadap (klaim) Yahudi dan Nasrani, karena sebagian di antara mereka mengatakan: "Para nabi semuanya adalah Yahudi atau Nasrani. Maka Allah SWT menjawab dengan ayat tersebut (QS. Al-Mai'dah: 44). Tegasnya, sesungguhnya para Nabi itu tidak Yahudi atau Nasrani akan tetapi mereka adalah muslim – yang tunduk pada semua hukum Allah SWT”.
Jadi menurut Ibn Anbari, ayat tersebut menjelaskan bahwa agama para Nabi itu bukan Yahudi dan Kristen, akan tetapi para nabi adalah termasuk Muslim. Maka, common platform yang digagas kaum pluralis secara ilmiah lemah karena hanya berdasarkan asumsi-asumsi yang tak berdasar. Sebab, dari data-data di atas ternyata asumsi-asumsi yang dibangun justru berkebalikan dengan literatur-literatur primer. Maka, semestinya penggunaan istilah/terminologi dikembalikan kepada asalnya. Term kalimat sawa' contohnya adalah istilah qur'ani yang memiliki konsep tersendiri, jika term tersebut digunakan, maka konsepnya harus sesuai dengan aslinya yaitu Al Qur'an.
Agama para Nabi itu bukan Yahudi dan Kristen, akan tetapi para nabi adalah termasuk Muslim.
Proyek common platform atau kalimat sawa' seperti tersebut di atas meniscayakan suatu pandangan bahwa perbedaan teologis antar agama-agama semitik adalah seperti perbedaan furu'iyah antar madzab. Surat Al-Mai'dah ayat 48 – yang diklaim sebagai sinyal bahwa antara agama semitik memiliki syari'at sendiri-sendiri yang diberi oleh Allah. Ayat itu sama sekali tidak membicarakan perbedaan yang bersifat furu' antara agama Islam dan agama-agama ahl al-kitab.
Tentang penafsiran surat Al-Ma'idah ayat 48 tersebut, Seikh Nawawi al-Jawi al-Bantani cukup jelas menggambarkan makna inti ayat tersebut: ”Maka Taurat adalah syari'at untuk umat tertentu yang hidup dari masa Nabi Musa sampai diutusnya Nabi Isa. Injil adalah syari'at (untuk umat) yang hidup pada masa diutusnya Nabi Isa sampai diutusnya Nabi Muhammad SAW, dan Al-Qur'an adalah syari'at yang diperuntukkan semua makhluk pada zamannya SAW sampai hari kiamat.”
. . . Al-Qur'an adalah syari'at yang diperuntukkan semua makhluk pada zamannya SAW sampai hari kiamat.”
Keterangan Seikh Nawawiy di atas menunjukkan, hakikatnya syari'at-syari'at umat terdahulu (syar'u man qablana) merupakan satu kesatuan dan bersifat temporal. Sebab, syari'at satu nabi diteruskan dan disempurnakan oleh nabi setelahnya. Hal ini logis, karena agama mereka satu – yaitu agama Tauhid, yang oleh Ibnu Taimiyah diistilahkan Islam 'am. Akan tetapi, setelah Nabi Muhammad SAW diutus menjadi Rasul, syari'at itu disempurnakan oleh syari'at baru yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Syari'at ini bersifat abadi-universal, berlaku sampai hari kiamat dan diperuntukkan bagi seluruh umat.
Senada dengan Syeikh Nawawi, Ibn al-'Arabi dalam Futuhat mengatakan para Rasul ditutus dengan membawa syari'at yang berbeda secara berurutan (tatabu') dalam zaman dan ahwal yang berbeda, akan tetapi dalam masalah ushul mereka sama sekali tidak berbeda – seperti mengesakan Allah. Hukum para Nabi itu menurut Ibn al-'Arabi juga bersifat temporal, yakni habis masa berlakuknya dengan datangnya Rasul lain dengan membawa hukum baru. Hal ini sesuai dengan Firman Allah surat Al-Ra'd: 38 bahwa menurunkan tiap-tiap masa kitab suci, yang menghapus apa yang Dia kehendaki. Maka menurut Ibn al-'Arabi syari'ah yang datang kemudian menghapuskan masa berlakunya syari'ah yang terdahulu (syar'u man qablana). Maka barang siapa yang hidup di zaman sesudahnya, maka ia wajib mengikuti syar'iah yang baru tersebut.
Maka, benarlah bahwa Al Qur'an membenarkan (mushaddiq) kitab-kitab dan syari'at terdahulu, sebab mereka semua adalah dari Allah dan muslim. Akan tetapi bukan berarti Al Qur'an kemudian membenarkan Yahudi dan Kristen. Dalam surat al-Maidah ayat 48 Allah berifirman: ”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan.”
Ibnu 'Asyur mengatakan, maksud Al Qur'an sebagai mushaddiqan adalah bahwa kitab-kitab samawi terdahulu mengandung al-huda (petunjuk) yang didakwahkan oleh kitab-kitab tersebut. Syeikh Nawawi al-Jawi memaknai al-huda dalam ayat tersebut adalah kabar gembira tentang Nabi Muhammad SAW. Sedangkan kalimat muhaiminan dalam ayat tersebut menurut Ibn Katsir berarti hakim. Yakni Al-Qur'an berposisi sebagai hakim yang bertugas mengawasi dan memvonis kitab-kitab sebelumnya.
Muhaiminan : Al-Qur'an berposisi sebagai hakim yang bertugas mengawasi dan memvonis kitab-kitab sebelumnya.
. . . apa saja dari kitab-kitab terdahulu yang sesuai dengan Al Qur’an maka itu adalah benar dan bila kitab itu bertentangan dengan kitab suci Al Qur’an maka berarti kitab-kitab itu batil.
Pendapat hampir sama dikemukanan Ibnu Jarir. Beliau mengatakan yang dimaksud Al Qur’an adalah muhaimin adalah bahwa Al Qur’an sebagai aminun yakni, apa saja dari kitab-kitab terdahulu yang sesuai dengan Al Qur’an maka itu adalah benar dan bila kitab itu bertentangan dengan kitab suci Al Qur’an maka berarti kitab-kitab itu batil. Pendapat Ibnu Jarir ini dibenarkan oleh ulama-ulama lain seperti, Qatadah, dan Imam Mujahid. Jadi dapat disimpulkan bahwa ayat tersebut bukan membenarkan Kitab suci agama Yahudi dan kitab suci Kristen. Karena, dalam perspektif Al Qur’an kitab-kitab agama ahl al-kitab sudah mengalami penyimpangan.
Al Qur'an cukup jelas memberi arahan mengenai status agama para nabi. Para nabi di dalam Al Qur'an disebut muslim, yang berarti agama mereka adalah Islam. Seperti QS. Yunus 71-72, menyebut Nabi Yunus sebagai seorang muslim, Nabi Ibrahim bukanlah Yahudi atau Kristen akan tetapi muslim dapat dilihat di dalam QS. Ali Imran: 67, dan semua nabi-nabi dari Bani Israil adalah muslim (Lihat QS. Yunus:84, QS An-Naml:44, dan Ali Imran:52). Imam Ibnu Taimiyah dalam al-Jawab al-Shahih liman Baddala din al-Masih menyatakan bahwa agama yang diridlai Allah adalah hanya Islam – yakni agama yang dipeluk oleh para nabi pertama hingga nabi terakhir.
Para nabi di dalam Al Qur'an disebut muslim, yang berarti agama mereka adalah Islam. . . agama yang dipeluk oleh para nabi pertama hingga nabi terakhir.
Ayat-ayat dan hadis tersebut mengindikasikan bahwa terdapat kesatuan substansi wahyu antara para Nabi, yaitu berupa ajaran Tauhid menyembah Allah Yang Esa dan menjauhi Thaqhut. Ibnu Taimiyah menyebut agama para Nabi sebelum nabi Muhammad SAW adalah al-Islam al-'am (Islam Universal). Al-Islam al-'Am itu menurut Ibnu Taimiyah adalah agama Nabi Adam sampai Nabi Isa, akan tetapi, nama itu menjadi al-Islam ketika nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul. Al-Islam yang dibawa nabi Muhammad merupakan penyempurna ajaran nabi-nabi sebelumnya (al-Islam al-'am).
Para Nabi termasuk nabi Musa dan Isa tidaklah beragama Yahudi atau beragama Kristen. Karena ajaran kedua nabi itu telah ditinggalkan jauh oleh kaum bani Israel. Agama Yahudi, menurut Prof. Dr. Muhammad as-Syarqawi, Dosen Filsafat Islam dan Perbandingan Agama, Universitas Kairo yang juga pakar kitab Talmud dalam Kitab Israil al-Aswad bukanlah agama Musa atau agama Ya'kub – sebagaimana yang diklaim. Sejatinya doktrin-doktrin utama agama Yahudi bersumber dari kitab Talmud.
Agama Yahudi bukanlah agama Musa atau agama Ya'kub. . . agama Yahudi bersumber dari kitab Talmud. . . Talmud ditulis oleh para rabi
. . . agama Yahudi telah dibangun asas-asasnya oleh para Rabbi – bukan berdasarkan wahyu yang diterima oleh nabi Musa
. . . Bahkan oleh mereka, syari'at Nabi Musa kedudukannya lebih rendah dari kitab karangan mereka (Talmud).
Kitab Talmud adalah kitab suci kedua agama Yahudi setelah Torah (Perjanjian Lama) yang penuh kontroversial. Bagi Yahudi, Talmud posisinya paling utama, ia adalah undang-undang lisan untuk bangsa Yahudi yang berfungsi menafsirkan semua pengetahuan, ajaran, undang-undang kehidupan, moral dan budaya bangsa Israel, sedangkan undang-undang tertulisnya adalah Torah (Perjanjian Lama). Meski kitab Talmud datang setelah Taurat, namun kedudukannya lebih suci dari Torah.
Seorang Rabbi Yahudi, Rabbi Roski, secara eksplisit mengakui bahwa Talmud ditulis oleh para rabi. "Jadikanlah perhatianmu kepada ucapan-ucapan para rabi (Talmud) melebihi perhatianmu kepada syari'at Musa (Taurat)", kata Roski.
Kenyataan tersebut mengindikasikan bahwa agama Yahudi telah dibangun asas-asasnya oleh para Rabbi – bukan berdasarkan wahyu yang diterima oleh nabi Musa. Bahkan oleh mereka, sebagaimana ditegaskan oleh Rabbi Roski tadi, syari'at Nabi Musa kedudukannya lebih rendah dari kitab karangan mereka (Talmud).
Kekurang validan undang-undang Lisan (Talmud) itu semakin nampak ketika ternyata diantara para pemimpin Yahudi terlibat perselisihan tentang isi undang-undang. Hal ini pada akhirnya mendorong para pemimpin Yahudi untuk menyusun kompilasi Hukum Lisan masing-masing. Richard Elliot Friedman, penulis buku Who Wrote the Bible mengakatakan kitab Taurat (the Book of Torah) merupakan teka-teki paling tua, dalam kitab tersebut tidak ditemukan ayat yang menjelaskan Musa adalah penulisnya. Sehingga dipastikan yang menulis adalah orang-orang setelahnya, hal itu diperkuat dengan banyaknya kontradiksi. Hilangnya teks asli dan tiadanya otoritas membuat mereka merasa memiliki hak untuk menentukan kitab yang sebenarnya.
Hal yang sama juga dialami agama Kristen. Penyimpangan terhadap agama Nabi Isa bahkan terjadi sekitar kurang lebih 60 tahun setelah kegaiban Nabi Isa as. Sang aktor yang paling bertanggung jawab terhadap tahrif agama Nabi Isa adalah Paulus. Michael H. Hart, ilmuan terkemuka di AS tegas mengatakan bahwa Paulus sesungguhnya pendiri agama Kristen. Diantara ajaran baru Paulus yang bertentangan dengan jemaat murid-murid asli Yesus di Yerusalem adalah, ketuhanan Yesus, Tuhan mempunyai anak, pengingkaran terhadap beberapa hukum Taurat, menghalalkan minuman keras, menghalalkan babi, adanya dosa warisan, dan sebagainya.
Sang aktor yang paling bertanggung jawab terhadap tahrif agama Nabi Isa adalah Paulus. .
Michael H. Hart mengatakan bahwa Paulus sesungguhnya pendiri agama Kristen.
Paulus adalah orang Yahudi Persi yang mengaku-ngaku Rasul. Pengakuan Paulus cukup ganjil, sebab sejak Yesus disalib, ia menjadi orang Yahudi yang sangat keras menentang ajaran-ajaran Yesus bahkan melakukan pembantaian terhadap pengikut Yesus. Sehingga, Huston Smith, dalam the Religions of Man menyimpulkan bahwa agama Kristen adalah agama sejarah. Artinya agama Kristen tidak dilandasi lagi oleh wahyu samawi akan tetapi dibentuk oleh para pemukanya yang selalu berubah-ubah. Doktrin-doktrin dogmatis Kristen tersusun 3 abad setelah Nabi Isa diangkat oleh Allah SWT. Pada Konsili pertama di Nicea tahun 325 M yang digagas oleh Kaisar Roma diputuskan kebenaran Tuhan Yesus yang diputuskan melalui voting, teologi resmi Kristen Ortodoks dan kepercayaan-kepercayaan di luar yang ditetapkan Konsili dianggap sebagai herecy (sesat dan bid'ah). Dari sini dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kaisar Roma – yang beragama paganisme – sangat berjasa membentuk doktrin baru ajaran Kristen selain Paulus.
Agama Kristen adalah agama sejarah. . .
. . . agama Kristen tidak dilandasi lagi oleh wahyu samawi akan tetapi dibentuk oleh para pemukanya yang selalu berubah-ubah.
Sang Kaisar bahkan dikenal sebagai pemimpin (Imam) paguyuban penyembah Sol Invictus (matahari yang tak terkalahkan). Kaisar menggagas Konsili Nicea konon karena mempunyai agenda tersendiri yaitu menguatkan kekuasaannya. Hal ini semata-mata untuk menghindari konflik antar tiga agama tersebut. Sehingga perpecahan masyarakat yang diakibatkan oleh konflik tiga agama tersebut dapat terhindarkan.
Dari paparan singkat di atas, maka tidak logis jika dikatakan bahwa Yahudi dan Kristen masuk kategori agama samawi dan millah Ibrahim. Sebab kenyataannya, bahkan pengakuan dari pemuka agama mereka sendiri, ajaran otentik mereka terputus semenjak ditinggalkan oleh nabi-nabi mereka.
. . . Tidak logis jika dikatakan bahwaYahudi dan Kristen masuk kategori agama samawi dan millah Ibrahim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar