Jumat, 24 Desember 2010

Ajaran Tasawuf dalam Puji-pujian Menjelang Shalat Fardlu

Puji-pujian didendangkan di mushalla, langgar atau masjid merupakan nyanyian puitis yang bernuansa keagamaan. Puji-pujian tersebut biasanya didendangkan bersama-sama oleh para jemaah menjelang shalat Subuh, Dzhur, Ashar, Maghrib atau Isya sembari menanti datangnya anggota masyarakat lain yang turut mendirikan shalat berjamaah. Puji-pujian tersebut ada yang menggunakan bahasa Arab maupun bahasa daerah. Mungkin berkat susunannya yang ritmis, puji-pujian ini mudah dihafal dan menyebar dari satu musala atau masjid ke musala lainnya.

Puji-pujian yang didendangkan para jemaah ini biasanya selalu didahului dengan salawatan atau membaca shalawat Nabi dan puji-pujian pada Nabi SAW. Meskipun puji-pujian tersebut berbahasa Jawa, puji-pujian ini selalu didahului shalawat nabi yang memiliki berbagia keutamaan.

Dari Hadist yang diriwayatkan Abu Hurairah r.a ( dalam Assamarqandi, 1980: 619) Nabi SAW bersabda yang artinya: “Bacalah shalawat untukku, sebab bacaan shalawat itu membersihkan kekotoranmu (dosa-dosamu) dan mintalah kepada Allah untukku wasilah. Apakah wasilah itu ya Rasulullah? Jawabnya: Satu derajat yang tertinggi dalam sorga yang tidak akan dicapai kecuali oleh seorang, dan saya berharap semoga sayalah orangnya”.

Orang mengenal pujian disebarkan oleh kalangan pesantren dan ada yang mengatakan puji-pujian ini diperkenalkan oleh para walisongo, yakni penyebar agama Islam di Pulau Jawa. Seperti yang masyarakat kenal lewat sejarah bahwa pendekatan yang digunakan para Walisongo dalam menyebarkan agama Islan adalah pendekatan persuasif yang bersifat kemasyarakatan sesuai dengan adat dan budaya masyarakat waktu itu.

Salah satu contohnya adalah Sunan Giri yang menciptakan Asmaradana dan Pucung. Sunan Giri jugalah yang menciptakan tembang-tembang dolanan anak-anak yang di dalamnya diberi unsur keislaman, misalnya Jamuran, Cublak-cublak Suweng, Jithungan dan Delikan (Rahimsyah, tanpa tahun: 54).

Selain Sunan Giri, ada lagi Sunan Bonang yang menciptakan karya sastra yang disebut Suluk. Suluk berasal dari bahasa Arab ”Salakattariiqa” , artinya menempuh jalan (tasawuf) atau tarikat. Ilmu Suluk ini ajarannya biasanya disampaikan dengan sekar atau tembang disebut Suluk, sedangkan bila diungkapkan secara biasa dalam bentuk prosa disebut Wirid. Salah satu Suluk Wragul dari Sunan Bonang yang terkenal adalah Dhandanggula. Sebagian masyarakat (yang mengenal tarikat) mengatakan bahwa teks puji-pujian diciptakan oleh para pemimpin tarikat dan Syekh Abdul Qadir Jailani.

Puji-pujian yang diperdengarkan di musala berisi shalawatan, do’a-doa mustajabah, dan petuah-petuah hidup. Puji-pujian yang diperdengarkan di musala-musala atau masjid-masjid kental dengan ajaran Tasawuf.

Obat Hati Lima Perkara

Pedoman hidup muslim adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Al-Qur’an diturunkan Allah melalui utusan-Nya , yakni Nabi Muhammad SAW. Dengan adanya Al-Qur’an dan Al-Hadits ini menjadi jelaslah jalan lurus yang harus ditempuh manusia serta aliran yang benar yang harus diikuti untuk memahami pengertian-pengertian hukum yang tercantum di dalamnya. Hal ini pulalah yang merupakan pemisah antara yang halal dan haram. Fungsinya adalah sebagai cahaya yang cemerlang, dengan berpegang teguh itu akan selamatlah setiap manusia dari tipuan. Kandungannya penuh dengan penawar untuk menyembuhkan hati dan jiwa yang sakit.

Mengenai obat hati ini, dalam teks puji-pujian ditawarkan adanya lima hal yang mampu menjadi obat bagi hati manusia. Kelima hal tersebut adalah (1) membaca Alqur’an dengan mengendapkan maknanya, (2) memperbanyak melakukan shalat malam, (3) berkumpul dengan orang Shaleh atau bergaul dan berguru pada orang Shaleh, (4) mampu menahan lapar atau perbanyak berpuasa, dan (5) perbanyak berdzikir di malam hari. Berikut kutipannya.

Tombo ati iku limo sak wernane
Kaping pisan maca Qur’an sak maknane
Kaping pindu shalat wengi lakonono
Kaping telu wong kang shaleh kumpulono
Kaping papat kudu weteng engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi engkang sue

Syair obat hati ini kemudian diakhiri:

Insya Allah Gusti Allah ngijabahi
Insya Allah, Allah mengabulkan

Mengingat Kematian

Setiap yang hidup pasti akan mati, demikian halnya dengan manusia. Semua manusia di dunia ini akan mati. Untuk itu melalui salah satu puji-pujian manusia diingatkan akan datangnya kematian. Adapun teksnya adalah sebagai berikut.

Ilingono para timbalan
(Ingatlah jika sudah waktunya dipanggil)
Timbalane ora keno wakilan’
(Panggilannya tak bisa diwakilkan)
Timbalane kang maha mulya
(Panggilan dari Yang Maha Kuasa)
Gelem ora bakal lunga
(Mau-tak mau harus pergi)

Panggilan yang dimaksudkan adalah panggilan Yang Maha Kuasa.Tak ada satupun yang kuasa menghalanginya. Harta, tahta, ataupun kerabat dan keluarga takkan bisa menghentikannya. Panggilan untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan selama di dunia. Hendaknya selama masih hidup selalu ingat dan takut hanya pada Allah karena dengan rasa takut itu menjadikannya berhati-hati dan berusaha selalu di jalan yang benar.


Gambaran orang yang sudah mati dalam teks puji-pujian adalah sebagai berikut.
Klambine diganti putih
(Bajunya diganti putih)
Nek budal ora bisa mole
(Jika berangkat tak bisa kembali)
Tumpak ane kereto jowo
(Kendaraannya kereta Jawa)
Roda papat rupa menongsa
(Beroda empat berupa manusia)

Oma e rupa goa
(Rumahnya serupa Go’a)
Ora bantal ora keloso
(Tak ada bantal ataupun tikar)
Omah e gak nok lawange
(Rumahnya tidak ada pintunya)
Turu ijen gak nok rewange
(Tidur sendirian tak ada yang menemani)

Perintah untuk memperbanyak mengingat kematian dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Tirmidzi (dalam Addimasyqy, 1983: 1048) menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: ” Perbanyaklah mengingat-ingat sesuatu yang melenyapkan segala macam kelezatan (kematian)”. Selain itu, mengingat kematian dapat melebur dosa dan berzuhud. Dengan mengingat kematian maka kematian itu sendiri sebagai pengingat pada diri sendiri dan orang yang tercerdik adalah orang yang terbanyak mengingat kepada kematian sebagaimana makna hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Ibnu Abiddunnya berikut.

”Secerdik-cerdik manusia ialah yang terbanyak ingatannya kepada kematian serta yang terbanyak persiapannya untuk menghadapi kematian itu. Mereka itulah orang-orang yang benar-banr cerdik dan mereka akan pergi ke alam baka dengan membawa kemuliaan akhirat” (dalam Addimasyqy, 1983: 1049).

Ajaran Tasawuf yang salah satunya adalah ajakan untuk melakukan zuhud merupakan salah satu jalan untuk takut dan berusaha mendekatkan diri pada Allah. Menurut Imam Ahmad bin Hambal (dalam Dahlan, dkk, 1988: 324), seorang ahli fiqih, membagi zuhud menjadi tiga, yakni (1) meninggalkan yang haram (zuhud orang awam); (2) meninggalkan yang tak berguna dari yang halal (zuhud orang khawash, para aulia’); dan (3) meninggalkan sesuatu yang dapat memalingkan diri dari Allah SWT (zuhud orang Arifin, orang yang sangat dekat dan kenal benar pada Allah.// NUonline

Tidak ada komentar:

Posting Komentar