Kali ini, kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hambali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita. Dalam kitab tersebut, penulis menjelaskan beberapa redaksi langsung dari Ibnu Abdul Wahhab yang dengan jelas dan gamblang membuktikan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan banyak dari kaum muslimin, yang tidak sepaham dengan pemikirannya.
——————————————————————————–
Bukti Lain Pengkafiran Wahhaby;
Muhamad bin Abdul Wahhab Menganggap Para Ulama Musyrik (1)
Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekte Wahabi adalah sekte yang memiliki kekhususan tersendiri dari kelompok muslim lain, yaitu pengkafiran. Setelah kita mengetahui beberapa bukti pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama, kelompok dan masyarakat muslim selain pengikut sektenya, kini kita akan melihat kembali beberapa teks yang dapat menjadi bukti atas pengkafiran tersebut. Kali ini, kita akan menjadikan buku karya Abdurrahman bin Muhammad bin Qosim al-Hambali an-Najdi yang berjudul “Ad-Durar as-Saniyah” sebagai rujukan kita. Dalam kitab tersebut, penulis menjelaskan beberapa redaksi langsung dari Ibnu Abdul Wahhab yang dengan jelas dan gamblang membuktikan bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab telah mengkafirkan banyak dari kaum muslimin, yang tidak sepaham dengan pemikirannya.
Kita akan mengambil beberapa contoh yang dinukil dari kitab di atas dan sedikit memberikan komentar sesuai dengan apa yang dinukil oleh penulis;
1- Muhamad bin Abdul Wahhab Mengaku Pemilik Ajaran Tauhid Sejati
Ternyata fenomena mengaku-ngaku sebagai satu-satunya pemilik ajaran Tauhid para pengikut sekte Wahhaby itu bermula dari pendirinya, Muhammad bin Abdul Wahhab. Dengan begitu akhirnya mereka tidak menganggap konsep Tauhid yang dipahami oleh ulama muslimin lain (Ahlusunnah), karena sikap keras kepala dan merasa paling benar sendiri.
Kali ini, kita akan lihat ungkapan Muhammad bin Abdul Wahab berkaitan dengan dakwaannya atas monopoli kebenaran konsep Tauhid versinya, dan mengaggap selain apa yang dipahami sebagai kebatilamn yang harus diperangi:
“…Dahulu, aku tidak memahami arti dari ungkapan Laailaaha Illallah. Kala itu, aku juga tidak memahami apa itu agama Islam. (Semua itu) sebelum datangnya anugerah kebaikan yang Allah berikan (kepadaku). Begitu pula para guru(ku), tidak seorangpun dari mereka yang mengetahuinya. Atasa dasar itu, setiap ulama “’al-Aridh’” yang mengaku memahami arti Laailaaha Illallah atau mengerti makna agama Islam sebelum masa ini (anugerah kepada Muhammad bin Abdul Wahhab, red) atau ada yang mengaku bahwa guru-gurunya mengetahu hal tersebut maka ia telah melakukan kebohongan dan penipuan. Ia telah mengecoh masyarakat dan memuji diri sendiri yang tidak layak bagi dirinya.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51 )
Dari ungkapan di atas telah jelas bagaimana Muhammad bin Abdul Wahhab telah melakukan:
a- Mengaku hanya dirinya (monopoli) selama ini yang paham konsep Tauhid dari kalimat Laailaaha Illallah dan telah mengenal Islam dengan sempurna.
b- Menafikan pemahaman ulama dari golongan manapun berkaitan dengan konsep Tauhid dan pengenalan terhadap Islam, termasuk guru-gurunya sendiri dari mazhab Hambali. Apalagi dari mazhab lain.
c- Menuduh para ulama lain yang -versinya- tidak memahami konsep Tauhid dan Islam telah melakukan penyebaran ajaran batil, ajaran yang tidak berlandaskan ilmu dan kebenaran.
d- Hanya dirinya yang mendapat anugerah khusus Ilahi itu. Dan dirinya pulalah yang berhak mendapat pujian, baik di dunia maupun di akherat. Karena tentu kebatilan -versinya- mustahil akan menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan sejati di akherat.
Dari ungkapan Syeikh Wahhabi itu maka janga heran jika para pengikutnya pun hingga saat ini terus men-talqin-kan diri mereka telah selamat dari kesesatan pemahaman ulama-ulama yang tidak memahami konsep Tauhid -sebagai landasan utama agama Islam- dan segala hal yang berhubungan dengan pemahaman agama Islam. Dari sinilah pengkafiran kelompok Wahhaby dan monopoli kebenaran muncul di benak kaum Wahaby.
Dari situ maka jangan heran jika pelecehan terhadap para ulama Islam pun mulai gencar ia lakukan. Sebagai contoh apa yang telah disebutkannya:
“Mereka (ulama Islam) tidak bisa membedakan antara agama Muhammad dan agama ‘Amr bin Lahyi yang dibuat untuk diikuti orang Arab. Bahkan menurut mereka, agama ‘Amr adalah agama yang benar.” (Lihat: Ad-Durar as-Saniyah jilid 10 halaman 51)
Siapakah gerangan ‘Amr bin Lahyi itu? Dalam kitab sejarah karya Ibnu Hisyam disebutkan bahwa; “ia adalah pribadi yang pertama kali pembawa ajaran penyembah berhala ke Makkah dan sekitarnya. Dulu ia pernah bepergian ke Syam. Di sana ia melihat masyarakat Syam menyembah berhala. Melihat hal itu ia bertanya dan lantas dijawab: “berhala-berhala inilah yang kami sembah. Setiap kali kami menginginkan hujan dan pertolongan maka merekalah yang menganugerahkannya kepada kami, dan memberi kami perlindungan”. Lantas Amr bin Lahy berkata kepada mereka: “Apakah kalian tidak berkenan memberikan patung-patung itu kepada kami sehingga kami bawa ke tanah Arab untuk kami sembah?”. Kemudian ia mengambil patung terbesar yang bernama Hubal untuk dibawa ke kota Makkah yang kemudian diletakkan di atas Ka’bah. Lantas ia menyeru masyarakat sekitar untuk menyembahnya“ (Lihat: as-Sirah an-Nabawiyah karya Ibnu Hisyam jilid 1 halaman 79)
Jadi muhammad bin Abdul Wahhab telah melakukan:
a- Menyamakan para ulama Islam dengan ‘Amr bin Lahy pembawa ajaran syirik.
b- Menuduh para ulama mengajarkan ajaran syirik.
c- Menuduh para pengikut ulama Islam sebagai penyembah berhala yang dibawa oleh ulama-ulama Islam itu.
Dari sini jelas sekali bahwa pengkafiran Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap para ulama dan kaum muslimin sangatlah nampak sekali sebagaimana matahari di siang bolong. Ia telah menvonis bahwa, siapapun yang memahami ajaran Tauhid ataupun pemahaman Islam yang berbeda dengan apa yang di otaknya maka ia masih tergolong sesat karena tidak mendapat anugerah khusus Ilahi. Ajaran itu dipastikan sama dengan ajaran syirik nan sesat sebagaimana ajaran ‘Amr bin Lahy, pembawa berhala ke kota Makkah. Itu karena, para ulama Islam meyakini legalitas ajaran seperti Tabarruk, Tawassul…dsb.
Bersambung….